Tuesday, 18 November 2014

Kali ini saya akan bercerita tentang seorang pria paruh baya bernama Irving Stern. Ia adalah seorang supir taksi di New York. Suatu kali di tahun 1966, Stern melintasi York Avenue. Ketika sedang melintas di depan New York Hospital, seorang pria berpakaian rapi memanggilnya. Stern menghentikan taksinya, lalu pria itu minta diantarkan ke bandara LaGuardia.

Setelah sekian lama perjalanan, pria itu bertanya, “Kenapa Anda menjadi supir taksi?”
Stern meliriknya dari kaca spion, lalu menyahut. “Kalau ada pekerjaan yang bisa membayar saya lebih 
dari US$100 seminggu, saya akan berhenti menjadi supir taksi,” sahut Stern.
“Saya tak akan berhenti jika hanya untuk uang
 US$100 seminggu,” sahut lelaki itu.
“Memangnya pekerjaan Anda apa?”
“Saya dokter ahli saraf di New York Hospital...” 
jawab penumpang tersebut.
Stern terdiam. Ia tak begitu banyak pengetahuan tentang ilmu saraf. 
Ia juga tak paham kira-kira apa yang bisa ia dapatkan dari ahli saraf 
itu jika meneruskan obrolannya. Namun karena tak enak diam-diaman, 
akhirnya Stern menanyakan sesuatu.
“Boleh saya bertanya?” katanya.
“Saya punya anak lelaki, prestasi belajarnya baik di sekolah. 
Saya tadinya mau mengirimkan dia ke acara perkemahan di liburan musim panas ini. 
Tapi ia maunya bekerja. Mana mungkin ia diterima magang, usianya saja baru 15 tahun. 
Kalau saja saya punya kenalan pengusaha, mungkin ia bisa mendapatkan pekerjaan magangnya 
selama libur. Sayangnya saya tak punya…”
“Barangkali Anda bisa membantu, tak apa-apa tak dibayar juga,” sambung Stern.
Ternyata pria itu tidak menyahut. Stern sampai merasa bersalah dan malu. 
Akhirnya, mereka sampai juga di bandara. Sambil mengulurkan bayarannya, pria itu berkata,
“Anak-anak mahasiswa kedokteran sedang ada proyek penelitian musim panas ini, 
mungkin anak Bapak bisa ikut membantu proyek mereka. Kirimkan saja fotokopi rapornya ke saya,” 
katanya.
Ia mencari kartu namanya di saku, tapi tidak ketemu karena sudah habis. 
Ia pun minta kertas untuk menuliskan namanya. 
Karena Stern tak bawa kertas, ia merobek bungkus makanannya. 
Tamunya itu lalu menuliskan, Fred Plum, N.Y. Hosp, di sobekan kertas itu dan memberikannya 
ke Stern.
Sampai di rumah, Stern menceritakan pertemuannya dengan dokter Fred Plum dan
 menyebutkan bahwa Robert Stern, anaknya, mungkin bisa kerja 
magang saat liburan musim panas tahun itu. Tapi karena nama itu tak jelas, anak dan
 istrinya meragukannya. Yah... orang itu bisa siapa saja. Bisa saja bercanda. 
Selama seminggu, sobekan kertas itu hanya jadi bahan olok-olok keluarga. 
Mana ada “peluang kerja” didapat dari sobekan kertas?
Dua minggu berlalu. Ketika Stern pulang, putranya menghampirinya dengan sebuah 
amplop bertuliskan Fred Plum, MD, Neurologist-in-Chief, New York Hospital. 
Rupanya karena minat bekerjanya tinggi, diam-diam Robert menelepon New York Hospital, 
berbicara dengan sekretaris dokter Fred Plum, dan ia pun mendapat panggilan wawancara.
Akhirnya di musim panas 1966 itu, Robert Stern mendapat pekejaan magang sebagai 
sukarelawan di New York Hospital di bawah pengawasan dokter Fred Plum 
dengan bayaran US$40 seminggu. Tahun berikutnya, ia mendapatkannya kembali.
 Karena terbiasa bekerja di laboratorium, Robert tertarik menjadi dokter. 
Keinginan itu rupanya didengar dokter Fred. Ia berjanji akan membantunya dengan
 cara memberikan surat rekomendasi ke universitas yang diminati Robert. 
Dengan surat rekomendasi berdasarkan hasil kerja magangnya, 
akhirnya Robert Stern diterima di New York Medical College.
Beberapa tahun kemudian, Robert Stern tumbuh jadi 
seorang ahli kandungan ternama di New York. Ia selalu bangga pada ayahnya 
yang telah membuka jalannya untuk menjadi dokter.
“Kadang kita menemukan peluang dalam keadaan tidak terduga, 
seperti dari pembicaraan seorang supir taksi dan seorang dokter,” 
kata sang ayah. Ia pun merasa bangga, meskipun dirinya supir taksi, 
ia bisa membawa putranya hingga menjadi orang yang berhasil dan 
bermanfaat bagi banyak orang.
Kini, Irving Stern berusia 92 tahun. Ia masih tinggal di Brooklyn.
 Seperti yang diceritakan di atas, Robert Stern telah menjadi seorang ahli 
kandungan ternama di New York. Dan bukan hanya dia, 
putra Robert Stern juga sukses menjadi seorang ahli jantung dan 
putrinya sukses sebagai seorang dokter spesialis gigi. Luar biasa!
Moral Cerita:
Rekan-rekan yang baik, banyak orang berpendapat bahwa apa yang terjadi 
pada Irving Stern dan keluarganya adalah takdir Tuhan. Hmm, saya juga 
sependapat dengan ini. Namun, jika kita renungkan lebih dalam, akankah
 “takdir Tuhan” yang indah akan datang kepada mereka yang bekerja seadanya? 
Rasanya tidak ya. Maksud saya, Tuhan memang punya kuasa atas segala sesuatu. 
Hanya saja, lazimnya takdir Tuhan yang indah menghampiri mereka yang telah 
berupaya dengan sungguh-sungguh.
Ya, seperti judul tulisan ini: Excellence is the key
Lengkapnya, excellence is the key to success.
 Jika pada artikel sebelumnya kita sudah membahas tentang pentingnya Integritas, 
yakni menyelaraskan antara perkataan dan perbuatan, lalu pada artikel 
berikutnya kita pun telah diingatkan kembali tentang pentingnya Continuous Development 
melalui kisah hidup Pak Handry Satriago, kali ini, seorang supir taksi bernama
 Irving Stern dan keluarganya baru saja mengajarkan kepada kita tentang Excellence.
Excellence, seperti yang kita ketahui bersama, dalam dunia pekerjaan memiliki arti 
“Terus berupaya mencapai standar kinerja tertinggi”. Meski tidak secara eksplisit 
disampaikan dalam tulisan di atas bahwa keluarga Stern adalah keluarga yang 
senantiasa menunjukkan sikap excellence, namun kita bisa simpulkan demikian dari hasil akhirnya. 
Diawali dari aktivitas magang seorang anak SMA, lalu direkomendasikan masuk ke 
Fakultas Kedokteran, kemudian Stern muda sukses menjadi seorang dokter ahli kandungan,
 hukum sebat akibat tak akan mengizinkan Stern mencapai kesuksesannya 
tersebut tanpa kerja keras, 
tanpa sikap excellence.
Jika saja kualitas kerja Stern biasa-biasa saja pada saat magang, akan sulit rasanya bagi 
Dr. Plum untuk memberikan rekomendasi agar Stern bisa masuk 
di Fakultas Kedokteran sebuah kampus yang diidam-idamkannya. Jika saja lagi-lagi 
kualitas kerja Stern setelah menjadi seorang dokter kandungan adalah biasa-biasa saja, 
tentu para pasien lebih memilih datang ke dokter ahli kandungan lain sehingga
 Stern akan sulit menjadi seorang dokter ahli kandungan ternama di kota New York.
Demikian sedikit kisah tentang seorang supir taksi yang karena takdir 
Tuhan bertemu orang baik yang mengubah hidup ia dan keluarganya. 
Namun, sekali lagi, tanpa upaya memberikan standar kinerja tertinggi dalam 
setiap pekerjaannya, mungkin takdir indah Tuhan untuk keluarga Stern
 hanya berhenti sampai Stern diterima magang di New York Hospital.
 Jika kemudian bertahun-tahun berikutnya Stern, dan juga kedua anaknya, 
menjadi dokter spesialis yang sukses, ini tentu bukan semata-mata terjadi karena takdir Tuhan.
 Ini adalah perpaduan antara takdir tuhan dan sikap excellence Stern sekeluarga.
Jadi, tunggu apa lagi, sudahkah Anda memberikan standar kinerja tertinggi
 untuk setiap output pekerjaan yang Anda hasilkan? J  
Today’s Quote:
“Success is where preparation and opportunity meet.” ~ Bobby Unser

0 comments:

Post a Comment